Kamu dan Setumpuk Cahaya
Kamu dan setumpuk cahaya di balik ruang kecil selalu mengingatkanku pada pesan Ibu. Kamu berkata bahwa dunia ini tidak pantas untukku yang selalu berkutat pada pasal-pasal haq. Kamu berkata bahwa orang yang berkaki pendek namun memiliki banyak tangan bisa saja meruntuhkan akal budi. Kamu merakit kalimat-kalimatmu dengan pena terbakar oleh setumpuk cahayamu. Kamu menjaga setumpuk cahayamu dengan hati-hati. Kamu takut jika setumpuk cahayamu diambil oleh orang-orang tidak bertanggung jawab yang akan menggunakannya untuk menerangi hal-hal buruk atau bahkan hal busuk. "Aku susah payah untuk menjaganya (setumpuk cahaya)", ujarmu. Biasanya jika sudah seperti itu, kamu dengan cepat menghabiskan secangkir teh di genggamanmu dengan harapan bisa menjaga setumpuk cahaya itu kembali.
Suatu pagi, aku tiba di bilik kecilmu, dimana biasanya kamu menjaga setumpuk cahayamu. Kamu mondar-mandir dengan nafas yang gusar. "Ada apa?" tanyaku. "Setumpuk cahayaku dimana?". Kamu mulai kehilangan akal dan mencoba untuk menggeser semua peralatan menulismu. Bahkan pena-penamu yang terbuat dari tanah dan air ikut tergeser. Buku-bukumu yang berasal dari kenangan dan bayangan pun terjatuh menyentuh ubin dingin. Aku mencoba mencerna semua ini dan memikirkannya sepagi ini. Berharap aku juga bisa menemukan solusinya, dan syukur-syukur setumpuk cahayamu ditemukan. "Apa kamu tidak ingat kapan terakhir kali menjaganya?", "kalau aku ingat pasti setumpuk cahaya itu sudah ada di hadapanku sekarang!" amarahmu mulai meledak. "Coba kamu ingat dulu, apakah kamu menitipkannya pada seseorang? atau kamu lupa menaruhnya dimana?". "Andi! Andi!" langkahnya lebar-lebar menghampiri Andi, tukang reparasi pilau di ujung danau tanah kami. "Kamu tahu dimana setumpuk cahayaku?" tanyamu buru-buru dan menuntut. "Bukankah setumpuk cahayamu itu rusak? Kau yang memintaku untuk membereskannya, sudah ku letakkan di sudut taman belakang ruangmu". Kamu berjalan dengan langkah besar dan aku masih setia mengikutimu. Setumpuk cahayamu benar ada disana. Setumpuk cahayamu masih terlihat berseri dan tidak nampak adanya kerusakan sedikit pun. Kamu mendekap setumpuk cahaya dan menangis keras-keras. "Setumpuk cahaya tidak akan pernah rusak" katamu. "Ya aku tahu itu, setumpuk cahaya hanya akan terus bertambah, ia tidak pernah rusak" tambahku.
Semenjak peristiwa pagi itu. Kamu menutup seluruh ruangmu, bahkan aku hanya bisa melihatnya dari seberang danau. Kamu tidak lagi membuka ruangmu lebar-lebar pukul lima pagi. Kamu tidak lagi membiarkan orang-orang melihat setumpuk cahayamu. Kini, aku pun juga tidak mengerti bagaimana bentuk setumpuk cahayamu, apakah ia bertambah? atau tetap seperti yang terakhir kali ku lihat?. Kadang, aku tidak sengaja melihatmu keluar dari ruangmu untuk mengambil beberapa kiriman kantor pos ketika aku membenarkan pilau milikku pada Andi. Aku bisa melihatnya banyak sekali kenangan maupun bayangan di luar ruangmu. Aku pikir, mungkin saja kamu masih tetap membuat buku dari kenangan dan bayangan. Namun, ada benda asing yang baru saja ku lihat sore ini ketika aku menilik pilauku kembali, yang sedang dikerjakan oleh Andi. Aku melihat kiriman itu belum kamu ambil. Apakah itu luka?. Apakah kamu mencoba membuat buku-bukumu dari luka?.
Komentar