Kata Rendra, Aku Terlalu Polos
Siang ini aku hendak membeli bahan-bahan untuk memasak di warung depan gang. Rendra sudah rapi dengan tas totebag yang dibawanya. Seperti biasa ia selalu menyapaku, "hai Sita". Aku hanya tersenyum sambil mencari sandal japitku. "Sita kamu mau kemana?", aku hanya menatapnya. "Malah diem, aku nebeng dong mau ke kampus". "Kamu kuliah?" aku bertanya, "ya iyalah masa aku mau kerja di kampus". Tadinya aku mau menjawab saja kalau aku hanya ingin ke warung depan tetapi Rendra jarang banget kuliah dan berdandan rapi seperti ini, baiklah akan aku antarkan dia ke kampus. Sungguh, ini pertama kalinya ia meminta boncengan. "Sebentar aku lupa kunci motor", aku buru-buru masuk kamar lagi.
Anehnya, Rendra membiarkan aku yang membawa motornya yang menurutku itu bagus sekali. Kebanyakan para cowo selalu mengambil alih tanpa meminta persetujuanku. Akhirnya aku yang menjadi sopirnya, baguslah ini berarti motorku memang aku yang pakai. Selama perjalanan yang hanya membutuhkan waktu kurang lebih delapan menit itu Rendra sesekali mengajakku berbicara. Ya, hal-hal sederhana saja sih. "Kamu sendiri gak kuliah?" tanya Rendra, "hari ini kebetulan gaada mata kuliah". "Kamu mau kemana sih sebenernya?", "aku cuman mau beli bahan makanan buat masak". "Wah Sita! Kamu bisa masak?", aku tertawa "ya cuman gitu-gitu aja sih". Memasuki halaman kampus, "Sit, aku diturunin di kantin aja ya". Aku bingung, katanya ia mau kuliah kenapa mesti ke kantin dulu. Hampir sampai di kantin, "katanya kuliah". Rendra turun, "hahaha kamu tuh terlalu polos tau gak Sit, aku tuh mau ketemuan sama pembeli lukisanku. Aku belum siap kuliah, tugasku masih belum ku kerjain". Oh pantes, ia rapi sekali sampai aku tak mengenalinya. "Tapi semua orang juga ada yang belum siap kuliah dan mereka ngerjain tugas-tugas mereka". Sambil mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakan korek, Rendra melakukannya dengan santai di depanku. "Sit, nanti kamu aja ya yang pinter pendidikannya biar aku yang pinter masalah kehidupan kayak gini. Supaya...". "Supaya apa?" tangkasku. "Supaya kita cocok Sit, udah ya hati-hati" katanya mengakhiri percakapan kami sambil melambaikan tangan. Rendra berjalan santai, aku masih menatap punggungnya dengan mesin motor yang masih menyala. Itulah Rendra, dengan segala keanehannya.
Komentar