Kata Rendra, Aku Terlalu Kuat
Rendra. Seorang cowok yang persis tinggal di depan rumah kontrakan mungilku. Dia juga menyewa sebuah kontrakan bersama teman-temannya dan kebetulan banget pemilik kontrakan kami adalah orang yang sama juga. Tiap pagi dia selalu membawa cangkir yang berisi teh dan duduk di depan kanvasnya. Kadang-kadang kanvas kosong, kadang juga kanvas yang telah memiliki coretan sana sini. Ngomong-ngomong soal teh, dia tidak bisa minum kopi tetapi jawaban yang dia beri ke aku ketika aku tanya mengenai "kenapa kamu gak minum kopi?", jawabannya begini "aku bukan ditakdirkan untuk menghabiskan secangkir kopi, aku lebih ditakdirkan menyeduh teh dan syukur-syukur sambil melihat orang yang aku taksir seperti sekarang ini". Begitulah Rendra dengan segala omong kosongnya. Rendra. Dia sedikit aneh orangnya. Masa, dia bisa ngelukis sambil marah-marah gitu. Kurang lebih dia marah-marahnya seperti ini, "bajigur opo maneh kuwi? sketsa ku sik iki rung mari nambah maneh. Wes aku mati wae lah" sambil berangan-angan ingin mati gitu. Rendra memang begitu. Salah sendiri malam hari cuman dibuat ngobrol ngalor ngidul gak jelas sambil mabuk-mabukan. Apa apaan itu. Sambil marah-marah gitu, Rendra juga masih bisa menyapa aku "Sita kelas pagi?". Aku hanya menganggukkan kepala saja dan buru-buru pergi. Rendra memang aneh, bisa melakukan beberapa hal dalam satu waktu meskipun hanya beda beberapa detik saja.
Kemarin malam, aku baru sampai kontrakan pukul dua dini hari. Teman-teman kontrakanku memberi kabar melalui grup bahwa kuncinya sudah dititipkan pada Rendra. Memang kunciku saat itu hilang dan belum ketemu juga. Sialnya, kenapa harus Rendra lagi?. Aku telah sampai pada ujung gang, dan berjalan menuju kontrakan. Sudah jelas si Rendra itu mabuk-mabuk lagi. Tetapi kali ini teman-temannya tidak ada di halaman kontrakannya. Aku menghampiri Rendra, "kuncinya mana?". "Eh Sita" dia mendekatkan dirinya padaku. "Sita! Andai aku bisa mengirimu surat setiap minggu atau bahkan setiap hari, sayangnya aku tidak berani". "Kenapa?". "Lihat saja dirimu Sita! Kau begitu galak dengan wajah tanpa polesan makeup, kamarmu yang bisa kulihat dari sini itu terlihat sangat rapi, kau begitu tertata, kau itu terlalu.." sambil tangannya memegang pundakku. Aku terbiasa dalam situasi seperti ini, "terlalu?". "Iya kau itu terlalu SEM PUR NA". "Simpanlah omong kosongmu itu Rendra, mana kuncinya?". Dia menyerahkan kuncinya. Dia menggenggam tanganku, "kau hanya terlalu kuat membangun pagar untuk dirimu, Sita". Aku membeku, Rendra kembali duduk lesehan dan terkapar di atas lantai. Apa iya aku begitu?
Komentar