Harapan Bapak


Malam itu rasanya aku malas sekali untuk makan. Bapak sakit dan tertidur cepat. Mas seperti malam-malam sebelumnya, belum pulang. Kosong. Perasaanku. Akhirnya yang kulakukan hanya mengecek laman twitter, membaca cuitan teman-temanku maupun penulis-penulis yang aku suka. Kalian pasti setuju jika kalian pasti punya momen dimana kalian malas untuk ngapa-ngapain, malas untuk berinteraksi secara langsung, malas untuk menanggapi, dan ujung-ujungnya hanya menyimak. Itu yang aku rasakan. Bapak tiba-tiba terbangun, kebetulan aku dan bapak memang tidur bersama karena tempat tidur di kamarku memiliki dua tingkat yang dulunya dipakai oleh saudara perempuanku yang kebetulan kuliah disini. “Sudah maem nduk?”, seperti yang aku jelaskan diatas aku dalam posisi malas untuk melakukan apapun “sudah pak”. Aku tidak mau menjadi urusan yang panjang hanya karena aku belum makan, karena bapak suka mempertanyakan hal-hal kecil seperti itu. “Makan sama apa?”. Baru aku bilang, bapak selalu menanyakan detailnya. “Mie” jawabku singkat. Bapak keluar kamar. Aku siap-siap untuk tidur, memakai selimut dan mematikan lampu. Belum lama, bapak kembali lagi. “Kamu makan mie apa?”. Sudahlah skakmat. Tadinya aku menjawab itu untuk menghindari masalah, malah menjadikannya masalah. Harusnya aku jawab saja, makan sosis atau nugget. Ugh. “Kamu bohong sama bapak ya! Gak suka bapak”. Aku melanjutkan niatku untuk tidur, “iya maaf pak, itu mie nya tinggal satu rencananya buat sarapan besok”. “Bapak gak suka ya kamu bohong….” bapak keluar dengan segala ocehannya. Aku mulai memejamkan mata. Kalau dipikir-pikir aku tidak pernah berbohong sama bapak.

Permasalahan malam itu membuat diriku tidak bisa tidur. Kali ini bapak seperti tidak suka sekali dibohongi. Akhirnya aku menemukan jawabannya. Bagaimana bapak tidak suka dibohongi? Bahkan aku adalah satu-satunya harapan bapak dari semua orang yang ada di rumah. Aku satu-satunya teman ngobrol bapak. Aku satu-satunya harapan pendidikan yang lebih bagus dari bapak. Aku satu-satunya yang selalu mengirim pesan ke bapak setiap harinya. Aku satu-satunya teman bapak untuk membeli buku. Aku satu-satunya yang menemani bapak makan sate cempe. Aku satu-satunya yang tidak pernah berbohong. Aku satu-satunya yang selalu ada di jalan kebenaran. Aku satu-satunya yang paham ketika ditanya mengenai hal yang tidak bapak ketahui. Aku satu-satunya yang bersiap menyambut bapak ketika pulang kerja. Aku satu-satunya… .  Aku satu-satunya harapan bapak!. Memikirkannya sungguh berat. Sungguh. Maka teruntuk teman-teman atau orang-orang yang selalu bertanya kepadaku, mengapa kamu tidak berkencan?. Aku tidak punya waktu untuk hal seperti itu, karena aku satu-satunya harapan bapak!.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Mencoba dan Percobaan

Berkunjung di Sore Hari

Penjaga Lautan Buku