Nama Panggilan
Semalam jendela kamarku diketuk oleh Peter Pan. Mungkin dia sedang kesepian atau malam itu dia belum bisa mendapatkan teman untuk pergi ke Neverland. Aku ngantuk setengah mati. Sungguh malam ini aku tak ingin pergi kemana-mana bahkan ke Neverland pun. Ku rapatkan selimut. "Kasih, apa kamu disana?". Aku tak menjawab, aku berharap agar Peter Pan mengerti bahwa aku sedang ingin tidur nyenyak malam ini. "Kasih, apa kamu sudah terlelap?". Aku masih berpura-pura tidak mendengarnya. "Kasih, aku ingin mengajak kau terbang ke Neverland". Aku merapatkan guling lagi. "Kasih, izinkan aku masuk". Astaga! Benar-benar ya dia!.
Aku bangkit dari ranjang dan membuka jendela lebar-lebar. Peter Pan melihatku cemas. Aku menutup mata meski aku masih bisa melihat sedikit. "Apa kau baik-baik saja?". "Maaf, malam ini Aku sedang tidak ingin kemanapun". "Tapi, tidak biasanya kau seperti itu Kasih". Aku mengisyaratkan kepada Peter Pan bahwa aku ngantuk. "Ah begitu ya, apa aku bisa disini sampai pukul dua belas malam saja?". Ku buka mataku, apa maksudnya. "Setelah itu aku janji akan pulang ke Neverland". Aku berjalan menuju ranjang dan menutupi diri dengan selimut.
Tahu tidak? Semalam aku tidak begitu benar-benar tidur ketika Peter Pan masuk ke kamarku. "Kasih, kenapa orang tuamu memanggilmu dengan nama yang berbeda?". Aku berbalik, dan melihat Peter Pan duduk di kursi meja belajarku. Aku menatap langit kamar. Aku sedang berpikir. Aku sedang mencari jawaban. "Agar aku tahu bahwa yang memanggil aku itu orang tuaku". "Sepertinya bukan seperti itu Kasih". Aku berpikir lagi, apa iya bukan seperti itu?. "Mungkin karena terlalu banyak nama Kasih di kota ini?". "Lalu kenapa orang tuamu memberi nama Kasih?". Langit kamar masih ku tatap. "Aku baru ingat, ayah pernah bilang mengapa dia memanggilku bukan dengan nama Kasih". "Beritahu aku kalau begitu". "Setiap pulang sekolah, aku selalu menggunakan telepon umum untuk menelepon ayah". "Apa itu telepon umum? Neverland tidak mempunyai benda dengan nama itu". "Neverland memang berbeda". "Lanjutkan" pinta Peter Pan. "Kata ayah, agar ayah tidak kena tipu. Jadi setiap aku telepon ayah, dan ketika telepon itu sudah tersambung dengan ayah, aku harus menyebutkan panggilan yang biasa ayah sebut". Sepertinya Peter Pan sudah puas dengan jawabanku dan tidak ada penolakan lagi. "Aku tidak punya panggilan selain namaku". Tiba-tiba aku memiliki ide. Aku bangkit dan berpura-pura menjadi ibunya haha. "Baik nak, mulai sekarang kamu akan dipanggil um... Pipe? Ya! Pipe! dan hanya aku yang boleh memanggilnya". Peter Pan terlihat senang karena sudah mendapatkan panggilan yang berbeda dari namanya. "Terimakasih" ucapnya sambil menyilangkan kedua kakinya. Kami tertawa bersama. "Aku harus terbang ke Neverland sebelum pagi menjelang". "Tapi ini belum pukul dua belas". "Aku ingin segera ke Neverland memberitahu teman-teman bahwa aku memiliki nama panggilan". Aku tersenyum, memeluknya erat sebagai tanda sampai bertemu lagi. Peter Pan terbang. Aku tersenyum bahagia. Ternyata benar kata ayah, untuk membuat seseorang bahagia tidaklah harus melakukan hal-hal hebat bahkan usaha yang besar. Peter Pan hanya saja tidak tahu, bahwa aku juga bingung untuk memberinya panggilan apa. Pipe, Peter Pan. Tetapi, dia tidak sekolah dan tidak akan menelepon seseorang. Aku baru sadar, Neverland tidak memiliki telepon umum!. Lantas, mengapa ia ingin mendapatkan nama panggilan?
Komentar